Minggu, 08 Desember 2013

Tolonglah, penonton bioskop...

Akhir tahun, banyak festival film diadakan di kota-kota besar di Indonesia, sebutlah JIFFEST, JAFF, FFI, JAFF, Festival Sinema Prancis, FFD, dan kawan-kawan, dan sebagainya, dan seterusnya. Banyaknya seponsor membuat festival ini gak underground lagi, tapi muncul di bioskop komersial (jaringan twentiwan red.). Nah mungkin ocehan saya kali ini nyambung sama euforia suasana menonton ini.

Sebagai manusia penonton yang berbudaya tenggang rasa, simpati, dan empati (semoga) hendaknya sebelum lampu studio teater dipadamkan kita penonton yang berbudaya ini sudah membuka segala bungkus plastik cemilan kita dan mengeset ponsel menjadi mode diam/getar (atau di-nonaktifkan sekalian). Sehingga setelah lampu teater dipadamkan tidak terdengar lagi suara kresek-kresek plastik cemilan kita. FOKUSLAH KE LAYAR STUDIO jangan layar ponsel sebelum lampu teater menyala kembali. Seberapa pun inginnya hasrat kita untuk mengecek album foto, pesan-pesan kekasih yang membikin senyum-senyum sendiri, atau kegiatan lain yang tak penting yang merupakan pengusir kepenatan di dalam teater. Jika merasa ponselmu bergetar jangan percaya, mungkin itu hanya halusinasi--akibat  kecanduan ponselmu kamu sering merasakan getar ponsel seolah ada pesan yang nyatanya tidak--jadi TAHAN DIRI untuk menyalakan ponsel. 

TAHAN LIDAH untuk menyatakan seluruh emosi dan perasaanmu tentang segala yang tampil di layar studio. Karena sungguh kita bukan kritikus film yang terlalu mumpuni untuk mencaci, lagipula jika kita menyemangati pemeran di layar untuk bersembunyi dari kejaran pembunuh mereka tak akan dengar. Lagipula kita menonton bersama dengan banyak orang lain yang sangat terganggu dengan celotehan komentar yang tidak penting.
PS. tolong setelah menonton hindarilah komentar "UDAH GINI DOANG?" atau "GAK MASUK AKAL NIH" karena dengan demikian kita menyianyiakan beberapa puluh ribu rupiah uang kita dan memubazirkan waktu kita, kenapa repot ke bioskop jika kita gak rela "diperdaya" gambar bergerak?
PPS. komentar tersebut menunjukkan kita manusia penonton yang malas berpikir, tidak kreatif, dan kurang wawasan, oke, jadi tahanlah diri sebaik-baiknya.

POPCORN/CIKI/MINUMAN RINGAN sudah cukup gak perlu makan mie goreng/bakso/somay/kolak duren ke dalam teater. Di bagian klimaks kamu sudah cukup tegang untuk makan. Lagipula aromanyaaaaaa..... ingat kan anjuran tetangga yang mencium bau masakan kita juga harus kedapatan makanannya, nah di teater tetangga kita banyak ruangan teater juga berpendingin udara, apa perasaan?

TONTONLAH FILM SESUAI USIA, bagi yang berniat membawa serta adik kecil, ponakan, atau anak tercinta pilihlah film yang sesuai. RAJINLAH MELAKUKAN RISET sebelum menonton. Kita biasa berurusan dengan internet, jadi lakukan riset untuk mengetahui secuil tentang film yang akan ditonton bersama anak-anak. Atau kita sudah merasa dewasa dan bisa menonton segala jenis film MENONTONLAH DENGAN ELEGAN hindari sikap norak, jangan tiap lihat adegan ciuman/pelukan/sanggama tiba-tiba meniru suara primata kebun binatang dan berseru-seru menutupi rasa jengah.

ANTRE, bukan hanya di bioskop. Di manapun kita harus antre. Hal yang bisa menandakan kita berbudaya atau gak.

terakhir, TONTONLAH FILM YANG INGIN ANDA TONTON, bukan film yang "lagi ngetren" "kata orang bagus" sekali lagi RISET bisa menentukan kita ingin nonton atau enggak. Jangan "nonton karena semua teman nonton, kalo gak nonton nanti dibilang gak gaul." Tiket nonton itu bisa buat makan tiga kali bagi anak kos, jadi pilih dengan bijak kecuali kamu bersinnya duit yah terserah si. Lagipula, idup berdasarkan standar dan penilaian orang lain melelahkan.

sudah kah? ada masukan lain? Intinya, bertenggang rasalah, tunjukkan kalau penonton Indonesia itu berbudaya. :D Selamat menonton.
beberapa film yang saya tonton, empat yang terakhir saya tonton di rangkaian acara festival film.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Sabtu, 17 Syawal 1434 H

Menurut kalender kantor demikian.
keluhan hari-hari ini masih sama. Mata agak perih menatap layar komputer terlalu lama. Dan pikiran yang agak stres menyikapi garis mati yang kian mendekat.
sembilan jam di waktu matahari menari menatap komputer
beberapa jam lagi di sarang sendiri ketika bintang-bintang musim kemarau muncul dan angin dingin bertiup menatap komputer, (entah main Candy Crush - atau menatap Ms.Word lagi)
lalu tidur -
esok harinya begitu lagi.
begitu lagi dan lagi

dan hari sabtu bukanlah hari libur.

sedih.

dan diperpanjang sampai akhir tahun 2013

sedih sedih

Tetap harus bersyukur, Alhamdulillah

what's new?
nyaris tidak begitu semangat untuk menulis :(

semoga selalu diberi kesehatan - dalam waktu dekat akan menulis kembali, semoga :)

Minggu, 30 Juni 2013

Juni Segera Berakhir

there is no such "hari kejepit" sampai bulan Agustus - i guess,
menyoal tonton menonton film - saya ke bioskop baru untuk menonton Epic - After Earth - Monster University dan nonton film yang diputar si German Cinema Film Festival, hooo - sedang malas me-review ....

kurang produktif ya - lebih banyak menghabiskan waktu di kantor di depan layar nih - kurang penyegaran :P (biasanya juga main game terus) ahahahha ...

well Juli akan segera datang - ramadan akan segera datang - welcome radang tenggorokan :)

aku ingin pulang.

banyak rencana yang belum terlaksana
banyak ide yang belum terealisasikan hope this july lebih bisa disiplin huuuoooo

Sabtu, 18 Mei 2013

mid may might be merry

Selamat Hari Buku - baca buku apa hari ini?
yang paling seru dari buku itu - kamu bisa membuat gambaran sendiri di dalam kepalamu kalo kata Spongebob "i ma ji na siii".
Berkontemplasi itu baik untuk kesehatan (entah iya entah enggak kalik ya).
Bulan ini saya membacai serial petualangan. Joshua's Files - bukan punya sendiri si, minjem punya temen kantor namanya Faqihani @ganiajri (sekalian promosi) ahhahaha.


Ceritanya tentang anak keturunan Maya-Meksiko-Irlandia yang setelah kematian ayahnya harus bertualang mencari sejumlah kebenaran, tentang dirinya, tentang ayahnya, dan tentang peradaban manusia. Mengambil tema peradaban bangsa Maya, isu super gelombang (biasanya Hollywood membesar-besarkannya sebagai hari kiamat) 2012. Karya M. G Harris (perempuan - yang lagi-lagi pake inisial nama supaya seolah tulisan laki-laki [pengarang laki-laki lebih diperhitungkan di ranah tulis menulis di dunia ini - penulis perempuan harus pinter-pinter pilih nama pena biar tulisannya terkenal - seperti yang dilakukan J. K Rowling]) ini diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan udah oke. Masih ada beberapa Typo - tapi gak fatal - dan cover versi Indonesia KEREN! pake banget ahahhaha.

Selain membaca buku, saya mulai menonton banyak film lagi bulan ini. Ada 1 film Indonesia, 1 Film Italia, 1 Film Dokumenter, dan 3 Film Hollywood sampai pertengahan bulan ini.

1. What They Don't Talk About When They Talk About Love

Premisnya yang saya tangkep itu begini "SEMUA orang, berhak bahagia, berhak mencinta, berhak dicinta, dan berhak yang lain yang dia memang berhak, tanpa terkecuali." Dan karena bahasa cinta itu universal (duile) orang tunarungu bisa berkomunikasi dengan orang tunanetra dan merasakan cinta yang sama dengan orang normal.
Walaupun segala pengambilan gambarnya sederhana, tapi penonton diajak untuk benar-benar fokus sama perasaan-perasaan tokohnya. Penonton juga diajak untuk mengerti bahwa orang dengan keterbatasan SAMA SAJA HALNYA dengan orang normal - terlihat dari sekuens tokoh-tokoh utama yang ceritanya memiliki kekurangan masing-masing mengalami kasmaran yang tidak ada pembedaan teknik pengambilan gambar saat tokoh-tokoh utama diceritakan sebagai orang normal yang juga mencinta.

2. Habemus Papam! (We Have A Pope!)

Paus - pemimpin umat Katolik di vatikan - terdahulu meninggal dunia. Saatnya pemilihan Paus baru. Paus terpilih. Padahal sang Paus terpilih tidak mau jadi Paus karena merasa tidak sanggup. Stres, sang Paus terpilih kabur dan memikirkan apa yang sebenarnya ia inginkan.
Gimana rasanya mendapat amanat besar, yang tidak kalian inginkan, tetapi lingkungan kalian mendesak dengan segala daya upaya. Stres? Pasti. Film yang kelihatannya serius ini agak mengacaukan emosi juga. Karena film ini bisa membuat kita ketawa terus saat nonton filmnya. Namun, kita bisa juga merasa iba sama Paus terpilih yang sebenarnya gak mau ini. Simpati. Kasihan sama Paus terpilih ini.

3. First Position

Dokumenter yang menyoroti enam anak berbakat yang ikut kejuaran balet paling prestisius di Amerika Serikat. Hadiahnya, kesempatan bagi yang terpilih untuk mendapat beasiswa penuh dari sekolah balet ternama di beberapa negara, seperti AS, Rusia, Inggris, dll.
Kita akan melihat ambisi, impian, tekad, passion yang ditunjukkan anak-anak berbakat ini. Ohiya, siap-siap karena nonton film ini akan membuat kaki ngilu-ngilu. ahahahaha. Salah satu dokumenter yang saya sukai selain The September Issue.

4. Mamma Mia!
 
Saya suka film musikal. Kayak film India? Biarin. Biasanya film musikal memberikan alur cerita yang absurd tapi berkesan. Tapi gak kayak film India yang ketemu pohon langsung joget si, film musikal Hollywood biasanya berkesinambungan dengan cerita. Khusus untuk film ini, kayaknya diangkat dari musical Broadway yang judulnya sama - kurang tau juga, lagu-lagunya adalah lagu-lagu yang dipopulerkan grup musik ABBA. settingnya Yunani, kurang romantis apa. filmnya menyenangkan deh.



5. Pitch Perfect
 Saya (benar-benar) suka film musikal.Pitch Perfect ini juga musical. Entah udah berapa kali nonton film ini, belum bosen juga. Ceritanya tentang kelompok-kelompok Acapela di Universitas yang ikut kejuaraan tahunan di Amerika Serikat. Film Komedi yang dihiasi lagu-lagu keren (karena aransemennya keren) dan konflik tokoh-tokohnya yang kocak-kocak bikin film ini gak bosen ditonton terus-terusan.

6. Pleasantville

Life is not only black and white - life is technicolor! Sulit untuk mengubah apa yang sudah tetap. Alasannya - gak berani. Gak berani menghadapi sesuatu yang baru yang belum dikenal - dan gak berani meninggalkan sesuatu yang tetap yang sudah dirasa nyaman. Kalo idup ini gak ada yang sedih-sedih - gimana kita tau ada sesuatu yang nanya senang? Film ini premis besarnya si begitu. Isu film ini juga selain pencarian jati diri - yang gak berubah adalah perubahan itu sendiri - apa yang dilihat belum tentu sama dengan kenyataannya - dan kesetaraan gender juga dibahas. Komplet pokoknya.

:D
untuk bulan mei ini saya masih menantikan film Epic. Animasi. I do love animation. dan di leptop masi banyak film yang belum ditonton omong-omong. hmmm, awrite next time i share lagi film-film yang oke. HAPPY WEEKEND !  

Rabu, 08 Mei 2013

the power of hari kejepit

Hari kejepit biasanya terjadi jika hari ini adalah hari kerja sedangkan kemarin dan esok hari LIBUR - iyes, hari Jumat besok akan jadi hari kejepit buat saya :D but no worry - bisa nyuci baju. Omong-omong, saya belum paham, Pancaroba sudah berlalu atau belum yah??? Kita doakan saja semoga Indonesia baik-baik saja semasa kemarau ini. Jangan takut pada matahari - yang di Antartika sama Greenland liat matahari jarang-jarang. Well- i dunno juga sih, belum pernah ke sana :p

enjoy my next flash fic -

hani bilang dia mau pergi.
hani pusing, kerabatnya selalu bilang hani harus begini.
hani harus pilih yang ini.
hani harus jadi bini dari si Rafli, si juragan sapi.
hani mau kabur ke Kediri. tempatnya asri, sepi.
hani pergi membawa uang mahar kawin dari si Rafli. minggat ke Kediri.
hani yang sarjana tani tidak rela cuma jadi bini.
hani mau punya sawah, nanam padi.
hani bawa uang banyak, bisa naik spoor, tidak harus jalan kaki.
hani sampai di Kediri, sendiri merasa kecil sekali.
hani bilang kayaknya nama hani kok mini.
hani mau ganti nama mulai hari ini.

Jumat, 03 Mei 2013

may might bloom

Entah mengapa - bulan April cepat berlalu, begitu juga uang gajian saya. Masih beranggapan ketika waktu cepat berlalu berarti saya menjalani hal-hal yang menyenangkan. Sedangkan ketika waktu berjalan lambat, berarti saya menjalani hal-hal penting. Mari mulai posting bulan Mei ini dengan flash fic.




Di jalanan Sayi melihat para perempuan mengenakan celana warna biru berbahan keras. Jeans mereka bilang. Denim, kalo ditulis majalah.
"Sayi mau beli blujin, Mak," Sayi mengadu pada emaknya suatu kali.
"Blujin? Celana?" Ibunya berseru.
Sayi menatap emaknya penuh harap.
"Celana itu buat lelaki. Kamu mau jadi laki apa perempuan?
"Banyak perempuan yang pakai blujin, Mak."
"Mereka gak bangga jadi perempuan. Nyaru jadi laki."
...
"Neng, ini jaman apa, masi pake kain bedong ke mana-mana. Blujin nih trendi," Pramuniaga toko menawari Sayi.
"Sayi tetep mau jadi perempuan aja."

_fin

Jumat, 26 April 2013

and the things i don't understand

kenapa banyak orang suka fatin x factor? ahahahah XD

kenapa saya masih nontonin Glee -

kenapa orang-orang yang punya semart pon gak mau sms-an lagi - maunya pake wasap lain wicet kokoatolk apa lagi lah itu - sebelumnya para pengguna blekberi gamau sms - maunya bbm. well- sangat menyebalkan. pernah diceritain ada satu kepanitiaan yang mayoritas panitianya pake blekberi - kalau ada rapat nyebar info lewat bbm - kemudian yang gak punya bbm gak dapet info karena temen-temennya gak ada yang bersedia sms - WHAAAYYYY??

#kenapa #harus #pake #tanda #pagar #di #setiap #kata #caption #postingan #gambar #instagram #atau #yang #semacamnya #kalau #di-link #ke #twitter??

kenapa ada spanduk yang tulisannya gini di jalan di jogja "wahai preman bertobatlah atau kami bantu ketemu sang pencipta" (eh apa gitu bunyinya spanduk di jalan gejayan mau ke arah condong catur) - it is sounds like "HEY PREMAN BEWARE WE COULD KILL YOU!" what the....

kenapa makaron sebiji di parsley harganya 8000 -____________-

apa guna tab sesungguhnya????

kenapa baju perempuan bahannya tipis tapi mahal :O

oh God whay

kenapa kenapa kenapaaaaaaaaaa

Selasa, 16 April 2013

Ikutan komentar soal awan-awan

Bapak Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (tulisannya bener gak?) baru-baru ini bikin akun twitter. Kemudian beliau, sepertinya baru ngetes, posting beberapa twitpic bersama keluarganya. Teman-teman yang saya ikuti banyak yang retweet dengan komentar, "gak mutu", "terus kenapa, Pak" dan sebagainya, yang intinya: "Ini isi tweet Seorang Presiden? Yang bener aja?"

Kalian berharap tweet Bapak Presiden seperti apa sih?

Mungkin pengguna Twitter di jagat Indonesia ini bosan dengan posting mengenai gundah gulana remaja, foto makanan, peta lokasi, keluhan cuaca, dan sindiran teman-temannya sesama pengguna twitter kali ya. Jadi membutuhkan kabar cetar membahana dari Bapak Presiden. Apa pengguna twitter yang mengharap berita heboh itu benar-benar siap? hahaha, saya rasa tidak. Mereka mungkin hanya akan menambahi komentar, "Namanya juga Indonesia." "Gimana negara mau bener." dan nada hujatan lainnya mengenai bobroknya Indonesia. Iya apa enggak?

Jika kalian peduli dengan Indonesia dan ingin "menjadikan tweet Bapak Presiden bermutu" coba interaksi langsung dengan beliau, tanyakan bagaimana keadaan beliau, kesehatannya? para menterinya? ada info pemerintahan terbaru apa? jika kalian memiliki ide gemilang dan bisa melakukan perubahan, sampaikan ide kalian tersebut. Saya pribadi belum jadi pengikut Presiden, teman-teman pengikut saya sudah senang hati me-retweet kicauan Bapak Presiden lengkap dengan komentar. Saya tinggal simak.

Kemudian ada lagi akun twitter istana negara - kemudian mereka bikin kuis - hadiahnya diikuti oleh akun tersebut. Well, yang bikin twitter udah ngakak-ngakak kali ya.

Ada larangan untuk duduk mengangkang bagi perempuan yang bonceng motor, di Aceh, Indonesia. Aceh terkenal dengan sebutan serambi Mekah. Syariat Islam perlu ditegakkan. Untuk mengatur masyarakat agar tidak terjadi maksiat di depan umum. Saya jadi ingat cerpennya Seno Gumira Ajidarma - Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, http://duniasukab.com/2008/01/14/dilarang-menyanyi-di-kamar-mandi/ - coba dibaca, lalu kaitakan dengan imbauan di Aceh itu. Menurut saya cerita di cerpen itu relevan yah. Saat orang-orang berupaya mengatur orang-orang, tetapi pikirannya apa bisa diatur juga. http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/08/6/121261/Larangan-Mengangkang-di-Sepeda-Motor-Dikecam

kamu di kamar sendirian, ada leptop berkoneksi internet, punya smartphone juga terkoneksi internet, segala aplikasi percakapan yang ada bonekanya gak berenti bunyi. YOU ARE ACCOMPANIED - definisi sendirian sekarang mungkin berubah yah. Saya lebih memilih ketemu langsung teman-teman saya, peluk-peluk ibu saya, secara langsung. Definisi sendirian bagi saya masih gak ada manusia lain yang bisa saya sentuh. mungkin karena kita jarang ketemu sama orang-orang yang kita kenal dan dekat dengan kita, makanya kita kekurangan simpati dan empati - kali, menurutmu? kamu lebih takut ketinggalan perkembangan dunia terbaru atau kehilangan afeksi-simpati-empati mu? Mudik Lebaran bisa meriah ketika kita dilanda rindu amat sangat, iya gak. Untungnya teman-teman terdekat saya masih mau sms saya walau mereka langganan aplikasi chatting, atau gak saya bilang sombong huhahaha XD


tiket konser di Yogyakarta sekarang mahal-mahal yah, gak ada yang 5000an lagi?? apa gimana? tiket nonton bioskop juga naik T____T sedih hati ini.

Jumat, 12 April 2013

Hello April

sudah sangat lama tidak menulis di blog ini.

sembilan jam di depan layar komputer.
pekerjaan.
yang untungnya saya sukai.
good payment also.

lima hari kerja membuat saya ingin mengatur weekend harus selalu menjadi istimewa, fun, dan bermanfaat.
sehingga hari senin tidak begitu membetekan.
at least i don't hate monday, but less concentrate (ssstt.. i write down this post while i have no script to edit)
setidaknya beberapa weekend setelah kembali dari training kerja cukup menyenangkan dan sesuai target.
kontrakan udah diberesin, kamar udah juga, ada beberapa buku yg dibaca, dan nonton film serta episode serial tv favorite, dan hang out dengan teman-teman.

banyak pula yang terjadi di dunia akhir-akhir ini.
you can read all of those in media.
musim hujan belum berakhir. Belum bisa pakai sepatu yang bagus-bagus kalau ke luar rumah.

kita harus mengejar mimpi kita,
mimpi terdekat saya adalah punya boneka minion dan beli sony music player yang setengah juta itu.
:D
dream big!
kalo gitu impian saya pengen punya rilla kuma yg segede gambreng itu dan home theater dengan tv 90 inci - big enough
ahahahahaha

saya masih berpikir mau menulis apa lagi...

Minggu, 24 Februari 2013

Life of Pi experience...

Posting berikut akan lebih panjang dari posting sebelumnya - begitu menyukai scene ikan paus terbang di film life of pi - terkagum dengan cgi richard parker - belum lama ini saya menamatkan membaca novel Life of Pi. Teks setelah ini merupakan salah satu fragmen novel tersebut yang mengesankan bagi saya - jika berkenan dan berluang - coba dibaca ya :D - kalau malas baca bahasa Inggrisnya - ada terjemahannya kok - semangat!



Chapter 23
Alas the sense of community that a common faith brings to a people spelled trouble for me. In time, my religious doings went from the notice of those to whom it didn’t matter and only amused, to that of those to whom it did matter–and they were not amused.
“What is your son doing going to temple?” asked the priest.
“Your son was seen in church crossing himself,” said the imam.
“Your son has gone Muslim,” said the pandit.
Yes, it was all forcefully brought to the attention of my bemused parents. You see, they didn’t know. They didn’t know that I was a practising Hindu, Christian and Muslim. Teenagers always hide a few things from their parents, isn’t that so? All sixteen-year-olds have secrets, don’t they? But fate decided that my parents and I and the three wise men, as I shall call them, should meet one day on the Goubert Salai seaside esplanade and that my secret should be outed. It was a lovely, breezy, hot Sunday afternoon and the Bay of Bengal glittered under a blue sky. Townspeople were out for a stroll. Children screamed and laughed. Coloured balloons floated in the air. Ice cream sales were brisk. Why think of business on such a day, I ask? Why couldn’t they have just walked by with a nod and a smile? It was not to be. We were to meet not just one wise man but all three, and not one after another but at the same time, and each would decide upon seeing us that right then was the golden occasion to meet that Pondicherry notable, the zoo director, he of the model devout son. When I saw the first, I smiled; by the time I had laid eyes on the third, my smile had frozen into a mask of horror. When it was clear that all three were converging on us, my heart jumped before sinking very low.
The wise men seemed annoyed when they realized that all three of them were approaching the same people. Each must have assumed that the others were there for some business other than pastoral and had rudely chosen that moment to deal with it Glances of displeasure were exchanged.
My parents looked puzzled to have their way gently blocked by three broadly smiling
religious strangers. I should explain that my family was anything but orthodox. Father saw himself as part of the New India–rich, modern and as secular as ice cream. He didn’t have a religious bone in his body. He was a businessman, pronounced busynessman in his case, a hardworking, earthbound professional, more concerned with inbreeding among the lions than any overarching moral or existential scheme. It’s true that he had all new animals blessed by a priest and there were two small shrines at the zoo, one to Lord Ganesha and one to Hanuman, gods likely to please a zoo director, what with the first having the head of an elephant and the second being a monkey, but Father’s calculation was that this was good for business, not good for his soul, a matter of public relations rather than personal salvation. Spiritual worry was alien to him; it was financial worry that rocked his being. “One epidemic in the collection,” he used to say, “and we’ll end up in a road crew breaking up stones.” Mother was mum, bored and neutral on the subject. A Hindu upbringing and a Baptist education had precisely cancelled each other out as far as religion was concerned and had left her serenely impious. I suspect she suspected that I had a different take on the matter, but she never said anything when as a child I devoured the comic books of the Ramayana and the Mahabharata and an illustrated children’s Bible and other stories of the gods. She herself was a big reader. She was pleased to see me with my nose buried in a book, any book, so long as it wasn’t naughty. As for Ravi, if Lord Krishna had held a cricket bat rather than a flute, if Christ had appeared more plainly to him as an umpire, if the prophet Muhammad, peace be upon him, had shown some notions of bowling, he might have lifted a religious eyelid, but they didn’t, and so he slumbered.
After the “Hellos” and the “Good days,” there was an awkward silence. The priest broke it when he said, with pride in his voice, “Piscine is a good Christian boy. I hope to see him join our choir soon.”
My parents, the pandit and the imam looked surprised.
“You must be mistaken. He’s a good Muslim boy. He comes without fail to Friday prayer, and his knowledge of the Holy Qur’an is coming along nicely.” So said the imam.
My parents, the priest and the pandit looked incredulous.
The pandit spoke. “You’re both wrong. He’s a good Hindu boy. l see him all the time at the
temple coming for darshan and performing puja.”
My parents, the imam and the priest looked astounded.
“There is no mistake,” said the priest. “I know this boy. He is Piscine Molitor Patel and he’s a Christian.”
“I know him too, and I tell you he’s a Muslim,” asserted the imam.
“Nonsense!” cried the pandit. “Piscine was born a Hindu, lives a Hindu and will die a Hindu!”
The three wise men stared at each other, breathless and disbelieving.
Lord, avert their eyes from me, I whispered in my soul.
All eyes fell upon me.
“Piscine, can this be true?” asked the imam earnestly. “Hindus and Christians are idolaters. They have many gods.”
“And Muslims have many wives,” responded the pandit.
The priest looked askance at both of them. “Piscine,” he nearly whispered, “there is salvation only in Jesus.”
“Balderdash! Christians know nothing about religion,” said the pandit.
“They strayed long ago from God’s path,” said the imam.
“Where’s God in your religion?” snapped the priest. “You don’t have a single miracle to show for it. What kind of religion is that, without miracles?”
“It isn’t a circus with dead people jumping out of tombs all the time, that’s what! We Muslims stick to the essential miracle of existence. Birds flying, rain falling, crops growing–these are miracles enough for us.”
“Feathers and rain are all very nice, but we like to know that God is truly with us.”
“Is that so? Well, a whole lot of good it did God to be with you–you tried to kill him! You banged him to a cross with great big nails. Is that a civilized way to treat a prophet? The prophet Muhammad–peace be upon him–brought us the word of God without any undignified nonsense and died at a ripe old age.”
“The word of God? To that illiterate merchant of yours in the middle of the desert? Those were drooling epileptic fits brought on by the swaying of his camel, not divine revelation. That, or the sun frying his brains!”
“If the Prophet–p.b.u.h.–were alive, he would have choice words for you,” replied the imam, with narrowed eyes.
“Well, he’s not! Christ is alive, while your old ‘p.b.u.h.’ is dead, dead, dead!”
The pandit interrupted them quietly. In Tamil he said, “The real question is, why is Piscine dallying with these foreign religions?”
The eyes of the priest and the imam properly popped out of their heads. They were both native Tamils.
“God is universal,” spluttered the priest.
The imam nodded strong approval. “There is only one God.”
“And with their one god Muslims are always causing troubles and provoking riots. The proof of how bad Islam is, is how uncivilized Muslims are,” pronounced the pandit.
“Says the slave-driver of the caste system,” huffed the imam. “Hindus enslave people and worship dressed-up dolls.”
“They are golden calf lovers. They kneel before cows,” the priest chimed in.
“While Christians kneel before a white man! They are the flunkies of a foreign god. They are the nightmare of all non-white people.”
“And they eat pigs and are cannibals,” added the imam for good measure.
“What it comes down to,” the priest put out with cool rage, “is whether Piscine wants real religion–or myths from a cartoon strip.”
“God–or idols,” intoned the imam gravely.
“Our gods–or colonial gods,” hissed the pandit.
It was hard to tell whose face was more inflamed. It looked as if might come to blows. Father raised his hands. “Gentlemen, gentlemen, please!” he interjected. “I would like to remind you there is freedom of practice in this country.”
Three apoplectic faces turned to him.
“Yes! Practice –singular!” the wise men screamed in unison. Three index fingers, like
punctuation marks, jumped to attention in the air to emphasize their point.
They were not pleased at the unintended choral effect or the spontaneous unity of their gestures. Their fingers came down quickly, and they sighed and groaned each on his own. Father and Mother stared on, at a loss for words.
The pandit spoke first. “Mr. Patel, Piscine’s piety is admirable. In these troubled times it’s good to see a boy so keen on God. We all agree on that.” The imam and the priest nodded. “But he can’t be a Hindu, a Christian and a Muslim. It’s impossible. He must choose.”
“I don’t think it’s a crime, but I suppose you’re right,” Father replied.
The three murmured agreement and looked heavenward, as did Father, whence they felt the decision must come. Mother looked at me.
A silence fell heavily on my shoulders.
“Hmmm, Piscine?” Mother nudged me. “How do you feel about the question?”
“Bapu Gandhi said, ‘All religions are true.’ I just want to love God,” I blurted out, and looked down, red in the face.
My embarrassment was contagious. No one said anything. It happened that we were not far from the statue of Gandhi on the esplanade. Stick in hand, an impish smile on his lips, a twinkle in his eyes, the Mahatma walked. I fancy that he heard our conversation, but that he paid even greater attention to my heart. Father cleared his throat and said in a half-voice, “I suppose that’s what we’re all trying to do–love God.”
I thought it very funny that he should say that, he who hadn’t stepped into a temple with a serious intent since I had had the faculty of memory. But it seemed to do the trick. You can’t
reprimand a boy for wanting to love God. The three wise men pulled away with stiff, grudging smiles on their faces.
Father looked at me for a second, as if to speak, then thought better, said, “Ice cream, anyone?” and headed for the closest ice cream wallah before we could answer. Mother gazed at me a little longer, with an expression that was both tender and perplexed.
That was my introduction to interfaith dialogue. Father bought three ice cream sandwiches. We ate them in unusual silence as we continued on our Sunday walk.




Bab 23

Sayangnya, perasaan seiman yang terbentuk antara orang-orang yang memiliki kepercayaan sama justru menimbulkan masalah bagiku. Praktek-praktek keagamaanku, yang semula hanya diperhatikan oleh orang-orang yang sekadar merasa geli melihatnya tapi tidak mempermasalahkannya, lambat laun menjadi perhatian orang-orang yang mempermasalahkannya—dan mereka tidak senang.
“Kenapa anak Anda pergi ke kuil?” Tanya pastor.
“Ada yang melihat anak Anda di gereja, membuat tanda salib,” kata imam.
“Anak Anda sudah menjadi Muslim,” kata pandita.
Ya, kenyataan ini akhirnya ketahuan juga oleh kedua orangtuaku yang terheran-heran. Semula mereka tidak tahu. Mereka tidak tahu menjadi pemeluk agama Hindu, Kristen, dan Islam. Semua anak umur 16 tahun pasti punya rahasia, bukan? Tapi nasib menentukan bahwa kedua orang-orang, aku, dan ketiga orang bijak itu—begitulah aku menyebut mereka—mesti bertemu suatu hari di tepi pantai Goubert Salai, dan rahasiaku mesti terbongkar. Hari itu hari Minggu siang yang indah, panas, dan berangin. Teluk Bengal berkilauan di bawah langit biru. Orang-orang kota pergi berjalan-jalan. Anak-anak berteriak-teriak dan tertawa-tawa. Balon-balon warna-warni melayang-layang di udara. Dagangan para penjual es krim laku keras. Buat apa memikirkan urusan serius pada hari semacam ini? pikirku. Kenapa tidak berjlan lewat saja sambil mengangguk dan tersenyum? Tapi bukan itu yang terjadi. Kami berpapasan bukan hanya dengan satu orang bijak, tapi ketiga-tiganya sekaligus, dan bukan bergantian, melainkan pada saat yang sama. Dan saat melihat kami, ketiga-tiganya memutuskan inilah saat yang tepat untuk berkenalan dengan orang penting di Pondicherry ini, direktur kebun binatang yang mempunyai anak lelaki saleh yang patut menjadi panutan. Ketika melihat orang bijak pertama, aku tersenyum; saat melihat yang ketiga, senyumanku berubah menjadi ekspresi ngeri. Ketika sudah jelas bahwa ketiga orang itu hendak menghampiri kami, jantungku serasa melompat naik, lalu anjlok.
Ketika orang bijak itu kelihatan kesal ketika menyadari mereka hendak mendekati orang-orang yang sama. Masing-masing pasti menganggap kedua orang bijak lainnya punya urusan lain di luar urusan agama, dan secara tak sopan memilih saat tersebut untuk membereskannya. Ketiganya saling melontarkan tatapan tak senang.
Kedua orangtuaku tampak bingung dihadang tiga pemuka agama yang tidak mereka kenal, dan ketiga-tiganya tersenyum lebar. Aku mesti menjelaskan bahwa keluargaku sama sekali tidak ortodoks. Ayah menganggap dirinya bagian dari India Baru—kaya, modern, dan sekuler seperti es krim. Dia sama sekali tidak relijius. Dia pengusaha, businessman, atau dlam kasusnya diucapkan busynessman—profesional, pekerja keras yang membumi, lebih tertarik dengan urusan kawin mengawin di antara singa-singa daripada mengurusi masalah moral atau eksistensial. Memang, Ayah minta seorang pandita memberkati semua binatang baru, da nada dua tempat pemujaan kecil di kebun binatang, satu untuk Batara Ganesha dan satu lagi untuk Hanuman—dewa-dewa yang jelas disukai pemilik kebun binatang, sebab yang satu berkepala hajah, dan satunya lagi berwujud kera. Tapi ini dilakukan Ayah karena pertimbangan bisnis semata-mata, bukan untuk kepentingan jiwanya; sekadar untuk kepentingan humas, bukan untuk keselamatan pribadi. Ayah tidak pernah mencemaskan urusan spiritual; urusan finansialah yang membuatnya cemas. “Kalau ada satu epidemic saja menjangkiti binatang-binatang ini, bisa-bisa kita mesti tinggal di jalanan, menjadi pemecah batu,” katanya selalu. Ibu bersikap masa bodoh, bosan, dan netral kalau menyangkut urusan agama. Ibu dibesarkan secara Hindu dan mendapat pendidikan Baptis; hasilnya, dia bermasa bodoh saja dan tidak memilih satu pun. Aku menduga Ibu tahu aku punya pendapat lain mengenai urusan ini, tapi Ibu tidak pernah mengatakan apa-apa. Waktu masih kecil, aku suka sekali membaca buku-buku komik tentang Ramayana dan Mahabharatta, juga Alkitab bergambar untuk anak-anak, serta cerita-cerita lain menngenai dewa-dewa. Ibu juga sangat suka membaca. Dia senang melihatku asyik membaca buku, buku apa saja asalkan bukan buku yang tidak pantas. Mengenai Ravi, seandainya Batara Krishna memegang tongkat kriket di tangannya dan bukan seruling, seandainya Kristus mewujudkan diri di hadapannya sebagai wasit, dan seaindainya Nabi Muhammad SAW punya hobi bermain boling, mungkin Ravi bakal lebih tertarik dengan urusan agama, tapi sekarang ini dia bermasa bodoh saja.
Setelah saling bertukar sapa, mengucapkan “Halo” dan “Hari yang indah”, timbul keheningan yang canggung. Akhirnya keheningan ini dipecahkan oleh sang pastor. Dengan nada bangga dia berkata, “Piscine anak Kristen yang baik. Mudah-mudahan dia mau segera bergabung dengan kelompok paduan suara kami.”
Kedua orangtuaku, sang pandita, dan sang imam tampak terkejut.
“Anda pasti keliru. Dia anak Muslim yang saleh. Dia selalu dating untuk salat Jumat, dan pengetahuannya tentang Qur’an semakin banyak.” Begitulah kata sang imam.
Kedua orangtuaku, sang pastor, dan sang pandita tampak terheran-heran.
Sang pandita berkata, “Anda berdua keliru. Dia anak Hindu yang taat. Saya sering melihat dia dating ke kuil untuk darshan[1] dan melakukan puja[2].”
Kedua orangtuaku, sang imam, dan sang pastor tampak tercengang.
“Saya tidak mungkin keliru,” kata sang pastor. “Saya kenal anak ini. Dia Piscine Molitor Patel, dan dia anak Kristen.”
“Saya juga kenal dia, dan sudah saya bilang dia itu Muslim,” sang imam menegaskan.
“Omong kosong!” seru si pandita. “Piscine lahir sebagai anak Hindu, hidup sebagai anak Hindu, dan akan mati sebagai pemeluk Hindu juga.”
Ketiga orang bijak itu saling pandang dengan tegang dan tak percaya.
Ya Tuhan, tolong alihkan mata mereka dariku, aku berbisik dalam hati.
Mata mereka semua tertuju kepadaku.
“Piscine, benarkah ini?” tanya sang imam penasaran. “Hindu dan Kristen memuja berhala. Tuhan mereka banyak.”
“Dan Muslim mempunyai banyak istri,” balas sang pandita.
Pastor menatap kedua orang bijak lainnya dengan tak senang. “Piscine,” dia nyaris berbisik, “keselamatan hanya ada dalam Yesus.”
“Omong kosong! Orang Kristen tidak tahu apa-apa tentang agama,” kata sang pandita.
“Mereka menyimpang dari jalan Tuhan lama berselang,” kata sang imam.
“Di manakah Tuhan dalam agamamu?” bentak sang pastor. “Tidak ada satu pun keajaiban Tuhan di dalamnya. Agama macam apa itu, tanpa keajaiban sama sekali?”
“Agama kami bukanlah sirkus yang mempertontonkan orang-orang mati melompat keluar dari dalam kubur mereka! Kami, orang-orang Muslim, berpegang pada keajaiban yang paling dasar, yakni eksistensi itu sendiri. Burung-burung yang berterbangan, hujan yang turun, hasil-hasil pertanian—semua itu sudah cukup merupakan keajaiban bagi kami.”
“Burung dan hujan boleh saja, tapi kami lebih suka yakin bahwa Tuhan benar-benar ada bersama kami.”
“Begitukah? Wah, percuma saja Tuhan ada bersama kalian—kalian mencoba membunuh-Nya! Kalian memaku-Nya di salib dengan paku-paku besar. Pantaskah memperlakukan nabi secara demikian? Nabi Muhammad SAW menyampaikan wahyu Allah pada kami tanpa banyak omong kosong yang tidak pada tempatnya, dan meninggal dalam usia lanjut.”
“Wahyu Allah? Pada saudagar buta huruf di tengah padang pasir? Itu bukan wahyu dari Allah, itu omongan orang sakit yang duduk terguncang-guncang di atas untanya.”
 “Kalau Nabi—SAW—masih hidup, beliau pasti menegurmu dengan keras,” sang imam menyahut dengan mata disipitkan.
“Tapi dia sudah mati! Kristus hidup, sementara SAW-mu sudah mati, mati, mati!”
Sang pandita menyela pelan. Dalam bahasa Tamil dia berkata, “Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa Piscine membuang-buang waktu dengan agama-agama asing ini?”
Seketika sang pastor dan sang imam sama-sama melotot mendengarnya. Mereka berdua sama-sama orang Tamil.
“Tuhan itu universal,” kata sang pastor.
Sang imam mengangguk-angguk setuju. “Hanya ada satu Allah.”
“Dan dengan Allah mereka yang satu itu, Muslim selalu menimbulkan masalah dan memicu keributan. Bukti betapa buruknya Islam bisa dilihat dari perilaku kaum Muslim,” kata sang pandita.
“Kau sendiri pendukung perbudakan yang menganut sistem kasta,” kata sang imam. “Orang-orang Hindu memperbudak manusia dan memuja boneka-boneka yang didandani.”
“Mereka pemuja lembu emas. Mereka menyembah sapi-sapi,” sang pastor ikut-ikutan.
“Orang-orang Kristen menyembah orang kulit putih! Merekalah pemuja dewa asing. Merekalah yang merupkan mimpi buruk bagi orang-orang non kulit putih.”
“Mereka makan babi, mereka kanibal,” sang imam menambahkan.
Denga kemarahan tertahan sang pastor berkata, “Sekarang masalahnya apakah Piscine menginginkan agama sejati—atau sekadar mitos-mitos dan komik kartun.”
“Allah—atau patung-patung,” kata sang imam dengan sungguh-sungguh.
“Dewa-dewa kita sendiri—atau dewa-dewa asing,” desis sang pandita.
Sulit dikatakan, siapa yang wajahnya lebih merah membara. Mereka bertiga seperti akan meledak.
Ayah mengangkat kedua tangannya. “Saudara-saudara, Saudara-saudara, sudahlah!” dia menengahi. “Saya ingin mengingatkan pada Anda sekalian bahwa negeri ini menganut kebebasan beragama.”
Tiga wajah marah menoleh ke arahnya.
“Ya! Beragama—satu agama!” ketiga orang bijak itu berseru serentak. Tiga jari telunjuk terangkat bersamaan, seperti tanda seru, untuk memberi tekanan pada ucapan mereka.
Mereka tidak senang telah berseru bersamaan, juga telah mengangkat jari telunjuk serentak secara spontan. Ketiga jari telunjuk itu dengan cepat diturunkan kembali, lalu mereka mendesah dan mengerang. Ayah dan Ibu hanya memandangi, tidak tahu mesti mengatakan apa.
Sang pandita yang mula-mula bicara, “Mr. Patel, kesalehan Piscine patut dikagumi. Pada masa-masa penuh pergolakan ini, senang rasanya melihat anak yang begitu taat beribadah kepada Tuhan. Kami semua sependapat mengenai hal itu.” Sang imam dan sang pastor mengangguk. “Tapi dia tidak bisa menjadi penganut Hindu, Kristen, dan Islam. Itu tidak mungkin. Dia mesti memilih.”
“Menurut saya, apa yang dia lakukan itu bukan kejahatan, tapi saya rasa Anda benar,” sahut Ayah.
Ketiga orang bijak itu menggumam sependapat dan menengadah ke langit, begitu pula Ayah, sama-sama berharap keputusannya datang dari sana. Ibu memandangiku.
Bahuku terasa dibebani oleh keheningan ini.
“Hmmm, Piscine?” Ibu menyikutku. “Bagaimana menurutmu pertanyaan itu?”
“Kata Bapu Gandhi, ‘semua agama baik adanya.’ Aku cuma ingin mengasihi Tuhan,” kataku, lalu aku menunduk dengan wajah merah.
Perasaan Maluku ini menular rupanya. Tidak ada yang membuka suara. Kebetulan kami berada tidak jauh dari patung Gandhi yang ada di jalan itu. Dengan tongkat di tangan, senyum nakal di bibirnya, serta binary-binar matanya, sang Mahatma berjalan. Kubayangkan dia mendengar percakapan kami, tapi dia lebih memperhatikan apa yang ada di hatiku. Ayah berdeham dan berkata agak pelan, “Saya rasa kita semua berusaha berbuat begitu—mengasihi Tuhan.”
Menurutku lucu sekali Ayah berkata begitu; sejauh yang bisa kuingat, belum pernah Ayah masuk ke kuil dengan niat sungguh-sungguh. Tapi sepertinya ucapannya mengena. Orang tak bisa memarahi anak kecil yang bermaksud mengasihi Tuhan. Ketiga orang bijak itu mundur dengan senyum kaku dan kesal di wajah mereka.
Ayah menatapku sesaat, seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi lalu berubah piiran dan berkata, “Ada yang mau es krim?” Kemudian dia menghampiri penjual es krim terdekat, sebellum kami sempat menjawab. Ibu memandangiku agak lebih lama, dengan ekspresi lembut bercampur bingung.
Begitulah perkenalanku dengan dialog antar agama. Ayah membeli tiga es krim roti. Kami memakannya dalam keheningan yang tidak biasa, sambil melanjutkan acara jalan-jalan hari Minggu kami.

(Teks Bahasa Inggris dikutip dari file pdf novel Life of Pi karangan Yann Martel – Teks Bahasa Indonesia dikutip dari terjemahan novel Life of Pi karangan Yann Martel diterjemahkan oleh Tanti Lesmana – Kisah Pi, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, 2004: hlm. 106—113).



[1] Mendatangi kuil untuk menghadap dewa-dewa.
[2] Upacara sembahyang Hindu.